Setiap negara yang ada di dunia memilik Bank Sentral masing-masing yang berperan sebagai otoritas moneter. Bank Sentral juga memiliki peran sebagai pihak yang berhak menerbitkan uang, menarik uang dari peredaran, dan berbagai kebijakan lain yang berguna untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter suatu negara. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang dilakukan oleh Bank Sentral sangat berpengaruh terhadap nilai tukar uang di negaranya.
Kebijakan Suku Bunga
Bank Sentral memiliki wewenang untuk menetapkan suku bunga acuan yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam menghitung yield obligasi, return aset, serta bunga di pasar interbank.
Perubahan yang terjadi pada imbal hasil aset di atas akan mempengaruhi minat para investor untuk memgang mata uang. Dengan demikian naik dan turunnya suku bunga sangat berdampak besar dalam pasar forex.
Kenaikan suku bunga merupakan cara yang dilakukan saat laju inflasi dinilai tinggi oleh pemerintah. Tujuannya adalah untuk mencapai target inflasi yang telah ditentukan dengan cara membendung kenaikan harga atau membendung arus dana modal ke luar negeri.
Di sisi lain pemangkasan suku bunga sering kali dilakukan saat inflasi dianggap rendah. Tujuan utamanya agar harga-harga naik dan mampu mencapi target inflasi. Pemangkasan suku bunga juga bisa dilakukan dengan tujuan agar nilai tukar uang melemah dan meningkatkan daya saing ekspor.
Operasi Pasar Terbuka
Selanjutnya ada operasi pasar terbuka yang dilakukan oleh Bank Sentral dengan cara mencetak uang untuk membeli sekuritas yang berguna untuk menyuntikkan likuiditas ke dalam perekonomian. Hal ini termasuk dalam kebijakan moneter longgar. Selanjutnya Bank Sentral bisa juga mengambil langkah pengetatan moneter dengan melakukan penjualan sekuritas dengan tujuan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Pembelian sekuritas pun disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga tidak seluruh sekuritas yang berada di pasaran akan dibeli oleh Bank Sentral saat menjalankan operasi pasar terbuka.
Kebijakan pasar terbuka yang banyak diperbincangkan adalah yang dilakukan oleh The Fed, Bank of Japan, dan European Central Bank.
1.Quantitative Easing (QE) The Fed
Dalam kebijakan ini, The Fed yang berperan sebagai Bank Sentral Amerika Serikat mencetak uang yang digunakan untuk membeli obligasi pemerintah yang banyak dipegang oleh pemain pasar.
Cara seperti ini dimaksudkan untuk mengalirkan likuiditas ke bank dan bisa menyalurkan lagi ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau yang sejenisnya.
2.Stimulus Bank of Japan (BoJ)
Dalam skema ini, Bank of Japan melakukan pembelian puluhan triliun Yen obligasi setiap tahunnya dalam upaya meningkatkan jumlah uang yang beredar dan mendorong laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
3.Long Term Refinancing Operations (LTRO) ECB
ECB merupakan Bank Sentral di wilayah Euro yang akan meminjamkan dana ke bank yang ada di zona Euro dengan suku bunga rendah agar bank-bank tersebut mampu menghasilkan profit dari pasar finansial dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk pinjaman.
Pinjaman ini termasuk dalam pinjaman jangka pendek yang harus dikembalikan dalam waktu 3 bulan sampai 1 tahun.
Namun dikarenakan kebijakan LTRO dianggap kurang berhasil, maka ECB kembali membuat program Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTRO) di tahun 2014 kemarin. Kebijakan ini sedikit berbeda dengan LTRO dimana hanya dikhususkan agar pihak perbankan meningkatkan pinjaman ke sektor riil saja dan memiliki masa pengembalian yang lebih panjang.
Intervensi Nilai Tukar
Sebagai otoritas moneter, Bank Sentral juga berhak untuk memantau nilai tukar. Nilai tukar uang sangatlah vital dalam upaya mendukung saya saing suatu negara, menjaga stabilitas makro, dan mencegah defisit perdagangan. Oleh karena itu Bank Sentral juga melakukan intervensi dengan maksud memperkuat dan memperlemah nilai tukarnya.
Di saat nilai tukar mata uang menguat secara berlebihan, maka Bank Sentral berupaya melemahkannya dengan tujuan agar daya saing produk tidak jatuh. Di lain sisi ketikan nilai tukar negara mengalami pelemahan secara drastis, maka Bank Sentral akan mencegah agar tidak merodot lebih jauh lagi. Intervensi yang dilakukan bisa dengan membeli atau pun menjual mata uang asing dengan mata uang yang dimiliki suatu negara.
Salah satu contoh dari Bank Sentral yang paling sering melakukan intervensi terhadap nilai tukar adalah Swiss National Bank (SNB). Saat nilai tukar CHF menguat dibandingkan Euro, maka SNB khawatir daya saing Swiss akan goyah. Sehingga di tahun 2011 yang lalu mereka menetapkan patokan dengan nilai 0.7 CHF terhadap Euro. Agar bisa mejaga nilai tukar CHF pada level yang demikian, maka SBN secara rutin mencetak CHF dan melakukan pembelian atas Euro.
Namun saat ini patokan yang dijelaskan di atas sudah dilepas dan tidak digunakan lagi. Sebab SNB sudah mempertimbangkan bentuk intervensi yang berbeda untuk menjaga nilai tukar CHF tetap berada pada level yang rendah.
Sedikit berbeda dengan SNB, Bank Indonesia juga melakukan intervensi dengan tujuan untuk memperkuat rupiah. Bank Infonesia tidak menetapkan patokan tertentu seperti yang dilakukan SNB, tetapi mereka mencegah mata uang rupiah melemah dibandingkan dengan kondisi fundamentalnya.
Sebagai contohnya di tahun 2014 dimana Bank Indonesia melakukan intervensi saat mata uang rupiah berada pada kisaran 12.500 per USD sampai menguat pada kisaran 12.300 per USD. Tetapi akhir-akhir ini Bank Indonesia baru melakukan campur tangan disaat rupiah telah mendekati 13.000 per USD. Hal ini dapat terjadi dikarenakan keseimbangan nilai tukar secara fundamental telah bergeser.
Intervensi Verbal
Intervensi verbal yang dilakukan oleh Bank Sentral sering kali disebut dengan himbauan. Himbauan yang dimaksudkan bisa bermacam-macam bisa dalam bentuk himbauan moral agar masyarakat tidak melakukan tindakan tertentu atau pun yang lainnya.
Intervensi verbal bisa saja terjadi dikarenakan para pelaku di pasar keuangan senantiasa mengamati pernyataan yang dibuat oleh para pejabat Bank Sentral dan kemudian bereaksi atas pernyataan tersebut.
Baca Juga: 5 Trader Forex yang Paling Terkenal Sepanjang Masa
Sebagai contohny saja pada bulan Juli tahun 2014 yang lalu dimana Ketua The Fed, Janet Yellen, memberikan penyataan bahwa harga saham bioteknologi dan sosial media di bursa Amerika Serikat terlalu mahal. Akibat dari pernyataan tersebut bursa saham Amerika langsung jatuh dan berdampak pada harga saham Facebook, Twitter, dan Linkedin yang merosot.
Adanya contoh reaksi di atas menjadikan pernyataan para pejabat Bank Sentral menjadi hal yang patut untuk diwaspadai.
Contoh yang lainnya adalah pada tahun 2014 yang lalu di saat pimpinan Bank Sentral Australia (RBA) yang berulang kali membuat nilai tukar Dollar Australia jatuh dengan adanya pernyataan yang bernada negatif.
Bahkan pidato dari para pimpinan Bank Sentral ini biasanya ditandai dengan banteng tiga dalam kalender fundalmental forex yang artinya memiliki pengaruh tinggi.
Itulah pembahasan yang berkaitan dengan kebijakan dari Bank Sentral. Semoga bisa menambah pengetahuan Anda semua.
Selamat berinvestasi!
Oleh: Wahyu Utama